Senin, 16 November 2009

Aplikasi Molekuler dan Sitogenetika Dalam Mendiagnosis Penyakit Genetik
Senin, 24 November 2008
Abstract

Chromosome analysis (cytogenetics) in relation to the diagnosis of diseases has already been introduced in the modern country since 1960s. Subsequently, molecular detection (molecular genetics) has been applied in the clinic since 1980s.
Along with the progress of molecular techniques the diagnosis of many genetic diseases can be established. Molecular analysis can be facilitated for predicting and estimating the risk of developing diseases.
Cytogenetics is still a useful and applicable tool in the diagnosis of genetics diseases especially in Indonesia where genetics laboratory is very few available along the country. Molecular genetics laboratory should be developed in many big cities in the country as molecular diagnosis nowadays is in high demand.

Analisis Sitogenetika dan Fluoresence In Situ Hybridization (FISH)

Berdasarkan penelitian-penelitian biologi molekuler yang berkembang pesat di negara-negara maju telah ditunjukkan bahwa hampir semua patofisiologi penyakit berbasis pada perubahan struktur asam nukleat (DNA) yang diwariskan maupun akibat tekanan lingkungan seperti infeksi virus. Bila perubahan terjadi pada bagian yang cukup luas dari gen-gen (>4Mb) maka ini dapat teridentifikasi pada tingkat kromosomal dengan menggunakan mikroskop cahaya. Bila perubahan itu sangat kecil bahkan hanya 1 bp (base pair) maka hanya dapat diidentifikasi secara molekuler.
Sitogenetika adalah pemeriksaan bahan genetik pada tingkat sel (kromosom), yang dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan sitogenetika berperan untuk mendeteksi adanya kelainan bahan genetik yang diturunkan (herediter) maupun yang terjadi secara spontan (de novo) dan kelainan kromosom yang didapat (acquired) akibat adanya proses di dalam tubuh, seperti pada keganasan.
Sitogenetika molekuler atau yang biasa disebut dengan Fluoresence In Situ Hybridization (FISH) adalah suatu visualisasi dari lokus atau gen atau sekuens DNA pada kromosom tertentu dengan menggunakan teknik biokimia yang dinamis dari hibridisasi “in situ”. Sebetulnya tehnik ini sudah dimulai sejak tahun 1960-an dengan hibridisasi DNA probe bermuatan radioaktif. Kemudian berkembang menjadi hibridisasi in situ non isotop yang lebih murah dan aman. FISH adalah suatu bentuk hibridisasi insitu pada kromosom, dimana probe asam nukleat dilabel dengan inkorporasi bahan fluorophore yaitu grup bahan kimia yang berpendar ketika dipapar dengan iradiasi ultraviolet. Hibridisasi dengan probe warna pada DNA ini dapat dilakukan secara simultan untuk beberapa macam probe (lokus). Deteksi warna dilakukan dengan mikroskop fluoresen yang menggunakan filter khusus dan ditayangkan serta direkam pada perangkat lunak komputer.

Analisis Molekuler

Pengertian tentang DNA dan replikasinya merupakan dasar penting untuk diagnosis secara molekuler. Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dapat mengamplifikasi DNA dan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) yang dapat memotong DNA pada sekuens dari lokus tertentu merupakan tehnik yang sering dipakai untuk diagnosis molekuler dalam klinik.
Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu suatu proses penggandaan atau amplifikasi DNA didalam laboratorium dengan menggunakan primer yaitu 2 oligonukleotida sintetis yang berlawanan lokasinya (5’ dan 3’) pada masing-masing pasangan lembar tunggal DNA (single strand DNA) dan dikatalisasi dengan ensim DNA polymerase. Suatu sekuens DNA tertentu baik itu sekuens dari fungsional gen dalam tubuh manusia, maupun suatu polimorfisme DNA pada kromosom tertentu atau bahkan sekuens DNA dari bakteri tertentu dapat diidentifikasi keberadaannya didalam tubuh manusia dengan melakukan penggandaan panjangnya sekuens rantai DNA tersebut.
Adanya polimorfisme pada DNA berguna untuk menentukan lokus dari gen, untuk mencari factor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit dan bahkan berguna pada bidang Kedokteran Kehakiman misalnya pada paternity test (tes untuk menentukan keayahan). Polimorfisme pada sekuens DNA manusia dapat dideteksi dengan Restriction Fragment Length Polymorphysm (RFLP) yaitu dengan mencerna DNA dengan ensim restriksi yang mempunyai recognition site tertentu. Variasi fragmen restriksi yang dihasilkan dapat terjadi secara netral (alami dan tidak patologis) atau akibat adanya mutasi noktah dan insersi/delesi yang akan mengurangi atau menambah restriction endonuclease recognition sites

Aplikasi Pemeriksaan Dari Kromosom ke DNA

Sindrom penyakit genetik
Sindrom Prader Willi (sindrom PW) dengan gejala klinik obesitas, hipogonadisme dan gangguan kognitif, gen yang mutasi pada lokus yang cukup besar sehingga dapat diidentifikasi secara mikroskopis (kromosomal). Sindrom PW dan sindrom Angelman (gangguan kognitif dengan wajah dismorfik) mempunyai gejala klinik yang berbeda tetapi secara sitogenetik mempunyai kelainan kromosom yang sama yaitu adanya delesi lengan panjang kromsom 15 (15q1.2). Sebelum ditemukannya tehnik molekuler patologis kedua sindrom ini sulit dijelaskan. Analisis molekuler membuktikan bahwa delesi pada kedua sindrom ini memang pada lokus yang sama tetapi berbeda asalnya yaitu delesi alel paternal (berasal dari ayah) pada sindrom Prader Willi dan delesi alel maternal (berasal dari ibu) pada sindrom Angelman.
Sindrom fragile-X merupakan penyebab utama retardasi mental yang diwariskan secara X-linked. Gejala klinik yang khas pada penderita sindrom fragile-X laki-laki selain retardasi mental adalah testis membesar, telinga menggantung dan menonjol, dagu dan jidat memanjang serta gejala psikoneurologik lainnya seperti mata juling dan hiperaktif. Secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan di ujung akhir lengan panjang kromosom X. Pada tingkat molekuler kelainan pada sindrom fragile-X adalah adanya perluasan jumlah trinukleotida DNA CGG repeat pada promoter gen FMR1. Pada pengulangan CGG gen Fragile X Mental Retardation-1 (FMR1) terdapat interupsi AGG pada setiap 9-10 repeat yang diduga berpengaruh terhadap stabilitas gen. Hilangnya interupsi AGG pada gen FMR1 mungkin dapat menyebabkan gen tidak stabil dan terjadi perluasan pengulangan CGG.

Endokrinologi

Dalam bidang Endokrinologi, gangguan hormonal misalnya pada ambigous genitalia (Congenital Adrenal Hyperplasia, Androgen Insensivity Syndrome dan Androgen Insensivity Syndrome), penyakit tiroid dan penyakit metabolik seperti diabetes mellitus dapat dipastikan diagnosisnya serta untuk memprediksi kemungkinan timbulnya penyakit pada anggota keluarganya yang tampak sehat dengan analisis DNA (molekuler).
Pada ambigous genitalia, dahulu diagnosis dengan identifikasi kromatin seks dari hapusan pipi, bahkan identifikasi drumstick dari hapusan darah tepi. Pemeriksaan ini seyogyanya sudah tidak dilakukan lagi karena banyak kelemahannya. Analisis kromosom menjadi pilihan berikutnya, namun banyak kasus-kasus ambigous genitalia yang hanya dapat didiagnosis jenis kelaminnya tetapi tidak dapat didiagnosis kelainannya. Pada Androgen Insensivity Syndrome (AIS)/sindrom resistensi androgen atau Testicular Feminization Syndrome disebabkan tidak atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap rangsangan testosteron dan dehidrotestoteron (DHT). AIS dapat terjadi dalam bentuk complete (CAIS) atau incomplete / partial (PAIS). Penyakit ini diturunkan secara X-linked (melalui jalur ibu) dengan kariotip penderita 46,XY. . Kelainan molekuler yang terbanyak pada AIS adalah terdapat mutasi satu basa pada AR gen (lokasinya pada kromosom Xq11-12) yaitu perubahan asam amino arginin (CGC) menjadi histidine (CAC) pada gen AR (androgen receptor). Diagnosis genetik dini pada AIS sangat penting untuk menentukan jenis kelamin penderita dan penanganan agar tidak terjadi problem sosial dibelakang kali. Analisis kromosom hanya untuk menentukan jenis kelaminnya, diagnosis tepat harus secara molekuler.
Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merupakan penyebab terbanyak kasus interseksual, terjadi maskulinisasi individu dengan genetik wanita (46,XX) dan kelainan ini diturunkan secara autosomal resesif. CAH dapat disebabkan antara lain oleh adanya defek pada enzim 21-hidroksilase (21-OH), 11-hidroksilase (11-OH) dan 3-hidroksisteroid dehidrogenase. Defisiensi enzim ini mungkin disebabkan oleh delesi, konversi atau mutasi noktah (point mutation) gen ini. Dengan analisis DNA (RFLP) mutasi pada gen CYP21A dan CYP21B dapat dideteksi. Diagnosis dan konseling genetika sangat penting karena CAH merupakan penyakit yang dapat diobati asalkan ditangani sedini mungkin.

Keganasan

Keganasan yang berkaitan dengan kelainan genetik baik kromosomal maupun molekuler juga sudah banyak dilaporkan misalnya pada keganasan kolon dan payudara.
Dengan berkembangnya teknik-teknik baru ini, aplikasi sitogenetika dan genetika molekuler dalam klinik menjadi semakin luas. Dalam bidang Hematologi, deteksi kromosom Philadelphia yang merupakan indikator diagnosis dan prognosis pada leukemia dapat diperiksa secara kromosomal maupun molekuler.
Perubahan struktur kromosom dan proto onkogen dapat menimbulkan keganasan contohnya pada translokasi (kromosom 9 dan 22) yang menyebabkan fusi gen ABL (pada kromosom 9) dengan BCR (pada kromosom 22) yang memacu terjadinya leukemia mielositik maupun limfositik. Akibat translokasi tersebut secara mikroskopik (kromosomal) dapat diidentifikasi adanya pemendekan lengan panjang kromosom 22 yang dikenal dengan kromosom Philadelphia (Ph’). Setelah ditemukannya teknik-teknik molekuler maka dapat dibedakan 2 macam titik patahan yang berbeda pada kromosom 22 yaitu diantara ekson 1-2 pada leukemia limfositik akut dan diantara ekson 10-11 pada leukemia mieloid kronik. Perbedaan 2 titik patahan ini menyebabkan 2 jenis fusi gen (chimeric gen) yang menghasilkan produk protein yang berbeda dan gejala klinis yang berbeda pada kedua jenis leukemia tersebut. Pemeriksaan sitogenetika pada keganasan hematologik membantu memastikan diagnosis, menentukan prognosis dan menentukan penatalaksanaan terapi. Misalnya ditemukannya kromosom Ph’ pada leukemia mieloid kronik merupakan indikator prognosis dan respon terhadap terapi yang lebih baik, sebaliknya ditemukannya kromosom Ph’ pada leukemia limfositik akut merupakan indikator yang kurang baik. Di negara-negara maju dimana faktor biaya tidak merupakan masalah besar, sekarang untuk diagnosis leukemia para dokter dan ahli laboratorium lebih menyukai dengan teknik-teknik molekuler atau FISH karena lebih cepat dan tepat. Namun di Indonesia sitogenetika masih cukup akurat dan terjangkau biayanya asal dikerjakan oleh ahli sitogenetika yang berpengalaman.

Kerentanan Genetik

Penyakit genetik yang diwariskan, penyakit-penyakit gangguan metabolisme, penyakit degeneratif, keganasan dan bahkan adanya organisme tertentu didalam tubuh penyebab infeksi yang dahulu tidak dapat didiagnosis secara mikroskopis sekarang dapat didiagnosis secara molekuler. Mengapa hanya individu tertentu yang dapat menderita suatu penyakit, misalnya pada perokok berat, mengapa ada yang menderita keganasan paru dan ada yang tidak; pada penyakit infeksi seperti meningitis dan demam berdarah ada yang mengalami komplikasi sepsis dan perdarahan, namun ada pula yang tetap bertahan tanpa komplikasi tersebut. Kerentanan terhadap timbulnya suatu penyakit pada seseorang akhir-akhir ini juga mulai diteliti secara molekuler.
Lokus-lokus tertentu yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler sekarang juga sudah banyak diidentifikasi seperti pada familial hypercholesterolaemia, sindrom marfan dan kardiomiopati. Diagnosis yang tepat pada penyakit infeksi sekarang dipermudah dengan identifikasi organisme secara molekuler misalnya pada virus hepatitis, Salmonella typhi, Mycobacterium tuberculosa dan virus HIV. Beberapa faktor risiko timbulnya penyakit dan kerentanan terhadap penyakit tertentu juga sudah banyak dilaporkan misalnya polimorfisme gen TNF  dan gen plasminogen aktivator inhibitor-1 pada beberapa penyakit infeksi atau sepsis, penyempitan pembuluh darah pada hiperhomosisteinemia yang dikaitkan dengan mutasi gen Methyl Tetra Hydro Folate Reductase (MTHFR) dan gen elastic yang berkaitan dengan penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan pada tingkat kromosomal dan DNA dapat membantu untuk mendeteksi penyebab penyakit tertentu, diagnosis yang lebih tepat dan cepat, membantu menentukan prognosis, pencegahan penyakit, mengetahui kerentanan seseorang terhadap penyakit atau mengetahui adanya faktor-faktor risiko untuk timbulnya suatu penyakit, dan belakangan ini, untuk penerapan teknik-teknik pengobatan secara kimiawi (pharmacogenetics) maupun terapi gen (gene therapy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar